follow me @wirhii

Sabtu, 12 Januari 2019

Prosa : Sanguinis dan Melankolis

Pict source :https://www.istockphoto.com/photos/dishonesty-mask-women-human-face?sort=mostpopular&mediatype=photography&phrase=dishonesty%20mask%20women%20human%20face

Aku begitu Sanguinis di luar dan melankolis di dalam

Maukah kau membaca Sanguinisku terhadapmu?
Ah. tak perlu kujelaskan.
Mungkin kamu dan di sekitarku terlampau memandangku sebagai perempuan yang hidup hanya dengan ambisi saja.
Aku menasehati perempuan lain bahwa cinta ataupun rasa sejenisnya yang tak terlalu kupahami itu bukanlah hal primer yang membuat kita bertahan di dunia.
Bahwa rasa tersebut tak selamanya harus menuntut balasan, tak selamanya menuntut penerimaan.
Sebab yang dipaksakan tidak akan menemui muara bahagianya.
Aku menyuruh mereka beranjak tanpa menoleh sedikitpun ke belakang karena di dalamnya hanya ada luka dan penolakan.

Kumaki diriku dan memberinya medali munafik.
Aku begitu melindungi diriku dengan menghadirkan sanguinis yang sebetulnya tidak mendominasi seluruh diriku.
Sanguinis itu hadir hanya di bagian terluar diriku saja, karena entah mengapa nalar selalu mati di lawan logika bila menghadapmu.
Sepengecut itulah aku, setakut itulah aku.
Sanguinis itu hanya bentuk keterbohongan dari aku yang sebenar - benarnya selalu memikirkanmu dan hanya tentangmu.
lucu memang, maka tertawakanlah diriku sepuas - puasmu.

Maukah kau membaca melankolisku?
Padamu puisi ku seakan menjadi hidup, padahal sama sekali kita tak menghidupkan.
Aku dengan setiap pengandaianku lagi - lagi menghidupkanmu dalam prosa yang di dalamnya aku adalah Tuhan. 
Aku menghidupkanmu yang sebenarnya tak serupa dengan kenyataannya. 
Bukannya aku ingin mengelabui kuasa Tuhan dengan menghidupkanmu dalam dunia prosaku, hanya saja aku tetap sadar bahwa prosa dan puisiku hanya fiksi semata. 

Fiksi?
Setelah kupertimbangkan lagi, hanya sisi pandangmu yang kucipta sebagai fiksi namun tidak dengan sisi pandangku. 
Sisi pandangku tercipta sesuai dengan apa yang kurasa, walau aku harus menyebabkan peperangan antara debaran hati dan logikaku.
Mereka saling bertengger dalam cakarnya masing - masing untuk mepertahankan sanguinis dan melankolis diriku.

Maukah kau sekali lagi membacanya?
Tiap puisi yang kucipta hanya berirama sendu jika itu tentangmu.
Aku diam di luar namun luka di nalar.
Aku marah pada debaran ku yang selalu bersedia tersiksa dalam pengandaian.
Gertak waktu selalu berdenting seakan ingin menarik.
Awalnya aku percaya bahwa waktu akan menyembuhkan, bahwa seiring waktu rasaku akan tertelan membentuk masa lalu.
Namun sayangnya, apa yang kupercayai hanya dilakukan oleh otakku saja, tidak dengan nalar dan debaranku.
Semakin kau jauh, rindu semakin menikam hatiku.

Aku tak butuh yang lain atau berharap ada pengganti dirimu.
Cukup kamu ada di sekitarku, hingga aku bersyukur masih bisa bertemu denganmu dan memastikan bahwa kamu baik - baik saja, tidak sakit, dan masih mengukir senyum yang sama.
Berbahagialah hai penyebab debaran hati dengan apa adanya dirimu sekarang, selagi aku masih mencari cara untuk menolong diriku agar melankolis tidak menikamku dengan kejam, agar sekiranya aku tetap dengan apa yang kamu fikirkan, perempuan sanguinis.

Makassar, 12/01/18
Wiri Resky Amalia

*inspired from imagination about human psychology types



Tidak ada komentar:

Posting Komentar