follow me @wirhii

Sabtu, 19 Januari 2019

Beropini : Berislam? Belajarlah pada ahlinya

9:36 PM 0 Comments

pict source : https://www.google.com/url?sa=i&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwihmcWE-_nfAhXBPI8KHff_CcsQjRx6BAgBEAU&url=https%3A%2F%2Fwww.salesforce.com%2Fblog%2F2016%2F04%2Fbuild-your-personal-brand-with-social-media.html&psig=AOvVaw3FGgkyOeEsS_UOc6z5joNT&ust=1547991193028790

Pertama kali saya kenal dengan sosial media adalah saat saya masih duduk di bangku SMP, which is saya sekolah di pesantren kala itu. Masa - masa tersebut adalah masa dimana saya sama sekali gaptek, gak kenal google, opera mini, email, etc. bahkan flashdisk aja saya gak tau fungsi dan bentuknya kayak gimana.  

Kalo lagi belajar bahasa arab dan inggris atau lagi baca kitab - kitab kuning apalagi, kagak bisa googling sama sekali buat translate. Satu - satunya sosial media yang saya kenal adalah facebook. Saya masih ingat dengan jelas akun facebook pun bukan saya yang buat, melainkan adik saya yang masih duduk di bangku sd. Saya cuma pake facebook di hari libur dan terkadang dipake buat update status doang. Statusnya yang lucu - lucu aja, kadang puisi, kalimat - kalimat galau, kadang juga dipake buat ngestalking dan ngechat doi wkwk -.- 

Saya sangat yakin hal yang saya alami ini, sebagian besar terjadi pada generasi saya juga. Pada intinya kala itu, sosial media dipake cuma buat laporan iseng - iseng aja dengan cara update status, atau paling enggak dipake buat ngechat teman - teman dekat, cari teman baru, kalaupun kita komen status orang lain.... sangat jarang dipake buat nengebully, menghujat, menghina, ataupun menyebar ketidakbaikan seperti pornografi, isu - isu buruk yang membawa nama agama, ras, suku, dan budaya.

Opini yang ingin saya tulis kali ini tentang maraknya sosial media yang dijadikan sebagai wadah menebar isu - isu sensitif khususnya dalam berislam. 

Saya sangat bersyukur, era teknologi semakin maju, informasi semakin mudah diraih, ilmu semakin mudah digenggam. Saking majunya teknologi, ilmu apapun bisa dicari dan disuarakan contohnya saja ilmu agama, budaya, seni, kesehatan, bahkan politik. Namun ada hal yang sangat disayangkan dari semua itu, tidak jarang pengguna sosial media menebar isu agama tanpa disertai dalil yang jelas. Kebanyakan dari mereka menjadikan opininya sebagai fatwa. Agama adalah hal yang pasti, kalau saja matematika dan fisika ada rumus untuk pembuktian hasil, begitupun dengan agama, ilmunya harus disertai dalil. Itulah mengapa as my experiences, selama ini dalam forum resmi seperti event debate, speech, atau MUN (Model of United Nation) selalu dilarang bersuara ataupun menyinggung tentang SARA (Suku, agama, dan ras) ketika berargumen terhadap suatu permasalahan, karena ilmu agama tidak berasal dari opini dan tidak mengandalkan logika semata.

Sudah banyak influencer bertopeng influencer about islam entah itu karena mereka menjadi viral, or maybe karena mereka kritis dalam berfikir di sosial media hingga tiba - tiba menjadi influencer bagi followersnya, padahal kita belum tahu dengan jelas latar belakang ilmu agamanya sudah sedalam apa. Mereka dengan berani menyuarakan pendapatnya tentang berislam dan berdalih bahwa pemikirannya itu berdasarkan hal yang logis, automaticly because they are influencer, their followers will take a note (getting influenced) for everything they did, their opinions, even their attitude. Contoh kecil ketika keliru dalam menafsirkan ayat. Padahal sudah banyak pakar agama (ustad) dengan latar belakang ilmunya jelas berasal darimana, apa yang disampaikannya pun disertai dalil, hanya saja karena pakar tersebut enggan dilirik sebab tidak terlalu berpengaruh di kalangan warganet, mungkin karena kurang ganteng, kurang cantik atau kurang terkenal, atau sang ahli terlalu keras dalam menyampaikan makanya hanya sedikit yang mengambil pelajaran darinya. Damn, seriously? it's abaot physically shaming again?

Serahkanlah pada pakarnya, kalau saja ilmu bedah hanya dikuasai oleh dokter bedah, pun begitu dengan ilmu agama hanya dikuasai oleh ahlinya saja. Kalau ada yang memancing kamu untuk berdebat mengenai permasalahan agama, mending gak usah diladeni diamin aja, tampung aja argumennya kemudian tanyakan ke ahlinya. 

Bagaimana jika sang pakar yang jelas pendidikannya tapi melakukan kesalahan dalam menebar ilmu? yah.... paling tidak mereka telah melewati yang namanya proses pembelajaran, proses pendidikan, sehingga mereka lebih dalam ilmunya dibanding influencer yang tiba - tiba aja viral karena pemikirannya. Pun apabila sang pakar melakukan kesalahan boleh jadi berasal dari kekhilafan atau tuntutan baginya untuk mendalami ilmu tersebut lebih dalam lagi. Ditegur boleh gak? yah boleh aja tapi didasari dengan pembuktian (ada ilmu atau dalilnya). Kadang juga terjadi perbedaan pendapat antara pakar yang satu dengan pakar yang lainnya (ustad A manhajnya berbeda dengan ustad B), maka saran saya adalah pilahlah sesuai dengan keyakinan kita (yang mampu diterima oleh hati). Jika sikap toleran mampu dihadirkan diantara pemeluk agama yang berbeda, bukankah dalam satu agama yang samapun sikap toleran tetap harus bahkan sangat mudah diadakan? sebab dalam berislam seringkali kita berhadapan dengan perbedaan manhaj ataupun mazhab, namun bukan menjadi alasan untuk perpecahan sesama umat.

Sekali lagi tidaklah benar pabila kita berdebat atau menebar isu mengenai agama jika bukan ahli atau pakarnya, apalagi bersuara tentang islam tanpa dalil yang jelas hukumnya. Opini ini bukan untuk melarang pembaca menebar kebaikan tentang berislam di sosial media karena bukan sebagai ahli yang sebenar - benarnya, melainkan lebih membuka pemikiran pembaca agar sekiranya pintar - pintar dalam mencari ilmu agar bermanfaat saat mengamalkannya, pun sekira - kiranya pintar - pintar mencari tahu kebenaran dari isu yang tersebarluaskan bahkan disetujui oleh kebanyakan publik agar tidak terjebak dalam kejahiliyaan. Penulis opini ini bukanlah sang pakar ataupun ahli, penulis hanya menyampaikan apa yang dianngap baik oleh penulis. Maka perbedaan pendapat sudah pasti akan terjadi, untuk itu marilah kita  juga menumbuhkan sikap toleran pada perbedaan pendapat. Ambil baiknya, buang buruknya.

Sabtu, 12 Januari 2019

Review : Novel The Hole - Pyun Hye Young

10:52 PM 0 Comments
wirireskyamalia.blogspot.com Judul : The Hole Penulis : Pyun Hye Young Penerjemah Dwita Rizki Pemeriksa aksara : @thetat Penata isi : @nurhasanahridwan12 Perancang sampul : Sukutangan Penerbit : BACA
wirireskyamalia.blogspot.com
Judul : The Hole
Penulis : Pyun Hye Young
Penerjemah Dwita Rizki
Pemeriksa aksara : @thetat
Penata isi : @nurhasanahridwan12
Perancang sampul : Sukutangan
Penerbit : BACA
Novel ini merupakan karya penulis asal Korea Selatan Pyun Hye Young. Novel ini telah mendapatkan nominasi dalam Shierley Jackson Award 2017 dan mendapatkan gelar 10 Thriller novel terbaik 2017 versi majalah Time.

Sesuai dengan penghargaan yang telah diperoleh, novel ini bergenre thriller. Itulah mengapa saya tertarik untuk membeli karena baru pertama kali saya baca novel genre thriller. Novel ini saya beli melalui salah satu platform online. Saya membaca novel ini kurang lebih selama 2 hari dikarenakan bahasanya cukup mudah dipahami even this is translation novel. 

Kisah The Hole ini diawali dengan perjalanan liburan tokoh utama yaitu Oh gi beserta istrinya menggunakan mobil pribadi, hanya saja dalam perjalan tersebut mereka menempuh nasib sial, mereka mengalami kecelakaan lalu lintas yang sangat parah. Nasib naas ini menyebabkan gagalnya liburan Oh gi dan istrinya, sehingga salah satu dari mereka ada yang meninggal dunia dan ada yang koma. Istri Oh gi lah yang meninggal pada kecelakaan tersebut, sedangkan Oh Gi mengalami koma selama beberapa hari.

Saat Oh Gi sadar dari komanya, nasib naas ternyata belum selesai menimpanya. Oh Gi sama sekali tidak bisa menggerakan tubuhnya kecuali tangan kirinya dan mengedipkan matanya, sehingga harus menjalani terapi dan perawatan lanjutan. Oh gi didampingi oleh ibu mertuanya yang sedang berduka karena kehilangan putri satu - satunya. Tak lama setelah tinggal di rumah sakit, masih dalam keadaan yang sama yaitu lumpuh dan tidak dapat berbicara, Oh Gi dan ibu mertuanya pulang ke rumah Oh Gi. Oh Gi mampu mengedipkan mata, dengan cara inilah ia mampu berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Oh Gi menghabiskan hari - harinya hanya berbaring di tempat tidur, dalam masa - masa tersebut ia terus mereka ulang kembali masa - masa hidup bersama istrinya dahulu, mulai dari awal pertemuan mereka hingga penyebab kecelakaan itu terjadi.

Di awal - awal pengenalan karakter akan ada kisah pertemuan awal Oh Gi dan istrinya beserta ibu dan ayah mertua Oh Gi. Pada saat membaca bagian ini, penulis seakan akan mendeskripsikan bahwa kehidupan awal pernikahan mereka memang gak bahagia - bahagia amat kayak pasangan lainnya. Khususnya masalah pekerjaan dan karier, tak jarang Oh Gi dan istrinya menemukan kesulitan
tapi tidak mampu memahami satu sama lain. 

Konflik dari novel ini adalah ketika Oh Gi dengan keadaan lumpuh yang merasa menyesal dan menyalahkan dirinya sebagai penyebab kematian istrinya harus dirawat oleh ibu mertua Oh Gi yang terus terusan berduka atas kehilangan putrinya. Oh Gi yang lumpuh  sangatlah tidak berdaya di depan ibu mertuanya, ia terpaksa harus mengikuti setiap keputusan yang ditetapkan oleh ibu mertuanya. Mulai dari keuangan, jadwal pengobatan, pengasuh, pendeta yang mendoakan dengan harga yang cukup mahal,  hingga karir Oh Gi sebagai dosen semuanya diatur oleh ibu mertuanya.

Ibu Mertua Oh Gi seringkali mengeluh dan bersikap ketus karena harus mengurus Oh Gi, hal ini menyebabkan  rasa bersalah Oh Gi semakin besar. Oh Gi yang tidak berdaya juga terkadang marah kepada ibu mertuanya, saat ibu mertua meninggalkannya dalam kondisi gelap gulita, terlebih lagi ketika ibu mertua Oh Gi memasukan surat pengunduran Oh Gi sebagai dosen yang memiliki jabatan cukup baik di universitas.

Tiba - tiba saja ibu mertua Oh Gi menggali lubang di taman rumah Oh Gi dan istrinya,  sehingga menimbulkan kecurigaan pada benak Oh Gi 'apakah ibu mertuanya akan menguburnya hidup - hidup dalam lubang besar tersebut?' Akhirnya Oh Gi terombang - ambing dalam rasa penasaran tersebut, di satu sisi dia terus - terusan merasa takut, di sisi lain dia juga merasa penasaran. Dia tidak ingin mati dan masih ingin berusaha untuk tetap sembuh, setidak - tidaknya bagian tubuh atasnya berfungsi lagi, karena Oh Gi ingin melanjutkan pekerjaannya sebagai dosen walaupun bagian bawah tubuhya tidak bisa lagi menemukan harapan.

Awalnya saat baca novel ini saya pikir karena genrenya thriller maka akan banyak darah atau ketegangan luar biasa dari adegan kekerasan, tapi ternyata novel ini memiliki daya tariknya sendiri dalam menimbulkan rasa penasaran serta ketegangan yang berbeda dari novel thriller lainya. Alur dan endingnya pun tidak dapat ditebak, untuk itu penulis berhasil menciptakan rasa penasaran bagi pembaca. Pembaca juga mampu merasakan penderitaan Oh Gi yang begitu tidak berdaya dan terkadang dipermalukan.

Hal yang saya suka dari novel ini karena menyingkap sisi - sisi psikologis dari pemeran utama, sehigga banyak banget pembelajaran yang bisa diambil dari novel ini.  Bagian favorite saya dari novel ini ketika diceritakan bahwa Oh Gi pernah menyukai wanita lain dan  hampir berkhianat kepada istrinya, makanya istrinya yang pernah bercita cita sebagai jurnalis membuat surat terbuka, isi surat tersebut sama seperti sebuah kritikan untuk Oh Gi, jleeb banget dah pas baca suratnya. Saya ngedukung sikap istrinya Oh Gi di sini.

Bagian yang buat saya masih bertanya adalah eksekusi dari tokoh novel ini. Nama tokoh - tokohnya  hampir disamarkan semua kecuali nama Oh Gi. Disamarkan menggunakan huruf seperti J,K, dan M. Kadang saya bingung bedain mereka, lebih klop lagi gitu kalo mereka punya nama walapun mereka punya peran yang sedikit sih di novel ini.

Selebihnya saya sangat suka termasuk alur serta bahasanya, walaupun ini novel transletan tapi jleb banget bahasa Indonesianya. Untuk endingnya sendiri, saya gak pernah mempermasalahkan ending untuk sebuah kisah fiksi, karena saya tahu pasti bahwa penulis sangat berhak menentukan, even itu gak sepenuhnya bakal diterima oleh semua pembaca.

Rate yang saya berikan adalah 3.5/5



Prosa : Sanguinis dan Melankolis

9:01 PM 0 Comments
Pict source :https://www.istockphoto.com/photos/dishonesty-mask-women-human-face?sort=mostpopular&mediatype=photography&phrase=dishonesty%20mask%20women%20human%20face

Aku begitu Sanguinis di luar dan melankolis di dalam

Maukah kau membaca Sanguinisku terhadapmu?
Ah. tak perlu kujelaskan.
Mungkin kamu dan di sekitarku terlampau memandangku sebagai perempuan yang hidup hanya dengan ambisi saja.
Aku menasehati perempuan lain bahwa cinta ataupun rasa sejenisnya yang tak terlalu kupahami itu bukanlah hal primer yang membuat kita bertahan di dunia.
Bahwa rasa tersebut tak selamanya harus menuntut balasan, tak selamanya menuntut penerimaan.
Sebab yang dipaksakan tidak akan menemui muara bahagianya.
Aku menyuruh mereka beranjak tanpa menoleh sedikitpun ke belakang karena di dalamnya hanya ada luka dan penolakan.

Kumaki diriku dan memberinya medali munafik.
Aku begitu melindungi diriku dengan menghadirkan sanguinis yang sebetulnya tidak mendominasi seluruh diriku.
Sanguinis itu hadir hanya di bagian terluar diriku saja, karena entah mengapa nalar selalu mati di lawan logika bila menghadapmu.
Sepengecut itulah aku, setakut itulah aku.
Sanguinis itu hanya bentuk keterbohongan dari aku yang sebenar - benarnya selalu memikirkanmu dan hanya tentangmu.
lucu memang, maka tertawakanlah diriku sepuas - puasmu.

Maukah kau membaca melankolisku?
Padamu puisi ku seakan menjadi hidup, padahal sama sekali kita tak menghidupkan.
Aku dengan setiap pengandaianku lagi - lagi menghidupkanmu dalam prosa yang di dalamnya aku adalah Tuhan. 
Aku menghidupkanmu yang sebenarnya tak serupa dengan kenyataannya. 
Bukannya aku ingin mengelabui kuasa Tuhan dengan menghidupkanmu dalam dunia prosaku, hanya saja aku tetap sadar bahwa prosa dan puisiku hanya fiksi semata. 

Fiksi?
Setelah kupertimbangkan lagi, hanya sisi pandangmu yang kucipta sebagai fiksi namun tidak dengan sisi pandangku. 
Sisi pandangku tercipta sesuai dengan apa yang kurasa, walau aku harus menyebabkan peperangan antara debaran hati dan logikaku.
Mereka saling bertengger dalam cakarnya masing - masing untuk mepertahankan sanguinis dan melankolis diriku.

Maukah kau sekali lagi membacanya?
Tiap puisi yang kucipta hanya berirama sendu jika itu tentangmu.
Aku diam di luar namun luka di nalar.
Aku marah pada debaran ku yang selalu bersedia tersiksa dalam pengandaian.
Gertak waktu selalu berdenting seakan ingin menarik.
Awalnya aku percaya bahwa waktu akan menyembuhkan, bahwa seiring waktu rasaku akan tertelan membentuk masa lalu.
Namun sayangnya, apa yang kupercayai hanya dilakukan oleh otakku saja, tidak dengan nalar dan debaranku.
Semakin kau jauh, rindu semakin menikam hatiku.

Aku tak butuh yang lain atau berharap ada pengganti dirimu.
Cukup kamu ada di sekitarku, hingga aku bersyukur masih bisa bertemu denganmu dan memastikan bahwa kamu baik - baik saja, tidak sakit, dan masih mengukir senyum yang sama.
Berbahagialah hai penyebab debaran hati dengan apa adanya dirimu sekarang, selagi aku masih mencari cara untuk menolong diriku agar melankolis tidak menikamku dengan kejam, agar sekiranya aku tetap dengan apa yang kamu fikirkan, perempuan sanguinis.

Makassar, 12/01/18
Wiri Resky Amalia

*inspired from imagination about human psychology types